Pertama kali mengunjungi tambang, saya kaget luar biasa. Benarkah Sopir
Truck Artic itu seorang perempuan? Saya
pernah melihat perempuan-perempuan hebat yang melakukan pekerjaan di luar
kebiasaan, beberapa diantaranya menjadi tukang cat, kuli bangunan, sopir
angkot, presiden dan lain-lain. Tapi, ini sungguh tak pernah terpikirkan. Tahukah
apa itu truck Artic? Jika di televisi
anda pernah melihat truck besar berwarna kuning yang diameter rodanya mirip
kubah mesjid atau lebih tinggi dari pada tiga orang dewasa yang disusun, truck
itu dapat mengangkut 20 – 30 ton sekali jalan dan dapat bermanuver di tanah becek sekalipun tanpa khawatir bannya
yang segede Pegulat Sumo ditumpuk sembilan amblas ke dalam tanah. Truck inilah yang disupiri perempuan.
Setelah berkeliling di Tambang, diketahui bahwa rupanya semua truck Artic dioperatori perempuan. Hampir semua mobil-mobil besar di
perusahaan tambang ini termasuk escavator dioperatori perempuan. Dalam sebuah
kesempatan di kantor pusat saya bertemu dengan pimpinan divisi alat berat yang
menjelaskan bahwa perempuan dipilih karena mereka tidak banyak membuang-buang
waktu untuk merokok dan lebih halus dalam berkendara selain juga mobil artic yang ukurannya super besar ini ternyata
sangat mudah dikendarai.
Waktu mempertemukan saya dengan seorang sopir artic, perempuan berusia 29 tahun asal Toraja, Sulawesi Selatan. Bertepatan
dengan jadwal pulang ke Makassar untuk Wisuda, AF inisial namanya, juga akan
pulang ke Toraja. Dia berhenti bekerja. Dengan mobil perusahaan, kami menuju
bandara di Banjarmasin. Sepanjang jalan saya bercerita tentang kagetnya saya
melihat mobil sebesar itu dikendarai seorang perempuan. Dia juga dengan
bangganya bercerita tentang kehebatannya bisa menjadi operator artic. Di samping sopir, duduk seorang lelaki pendiam
yang ternyata merupakan pacar AF. JN inisialnya, dia juga bekerja di perusahaan
sebagai sopir mobil biasa. Setelah cukup lama bersama mereka, saya mengetahui
bahwa JN ini pendiam karena tidak fasih berbahasa Indonesia, dia orang dayak
asli.
Saya baru saja mengalami perpisahan yang cukup menyakitkan dengan keluarga
dan orang terkasih ketika pertama berangkat ke Kalimantan dan sekarang harus
berada di tengah-tengah latar yang sama, JN & AF akan berpisah mungkin
untuk selamanya.
Delapan jam perjalanan ke Bandara seperti biasa cukup melelahkan, tapi
itu menjadi delapan jam yang sangat singkat bagi mereka berdua. Diantara singkatnya
waktu itu, saya sering mengganggu mereka dengan pertanyaan-pertanyaan nostalgia
tentang hubungan mereka. AF akan tertawa kecil jika mengingat pertama kali
bertemu dengan JN. Jika jam makan siang tiba, JN akan datang ke Tambang dengan
mobil carry pengangkut makanan dan
membagikan makanan pada semua orang yang bekerja di Tambang, AF salah satunya. Anda
boleh membayangkan seorang istri yang mengantar rantang makanan di jam makan
siang kepada suaminya di sawah, tapi ini kondisinya terbalik, Laki-laki yang
mengantar makanan untuk perempuan di gersangnya lahan tambang. Begitu setiap
hari hingga ada cinta diantara mereka.
Pintu masuk terminal bandara sudah di depan mata, mereka berpelukan untuk
terakhir kalinya dan akhirnya berpisah. Saya jalan lebih dulu menuju counter check-in,
AF ikut di belakang. Antrian panjang seperti biasa dilewati sekitar 30 menit. Lalu
muncul kalimat dari petugas counter yang membuat saya lagi-lagi kaget luar
biasa, sambil menunjuk ke arah AF, dia bertanya,”Maaf Pak, Istrinya Hamil
berapa bulan? Kalau hamil, Bapak tolong tandatangani surat pernyataan ini….”
Sepanjang jalan tadi kami bertiga bercerita banyak hal tapi tak tahu
kalau temanku ini ternyata hamil 4 bulan. Terpaksa saya menandatangani surat
pernyataan tidak akan menuntut ganti rugi jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan pada kandungan AF. Untuk sementara, saya yang bertanggung jawab atas
perbuatan JN, paling tidak selama perjalanan ke Makassar, sial. “Istrinya
jangan ditinggal jauh-jauh ya Pak!”, tambah petugas counter setelah membereskan
boarding pass, menambah suram suasana.
Tapi setelah dipikir-pikir, ini adalah kesempatan mendapatkan pahala. Tak
tega juga rasanya melihat wajah AF yang selalu berkaca-kaca, mungkin dia malu,
mungkin juga dia takut membayangkan betapa beratnya kehidupan yang akan
dihadapinya. Sudahlah, saya harus bersikap seperti biasa, menjadi pelayan bagi
siapa saja, hitung-hitung latihan menjaga istriku nanti yang juga akan hamil.
Semoga temanku ini kuat menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang.
Kujabat tangannya lalu mengucapkan selamat berpisah di pintu keluar Bandara
Hasanuddin, Makassar.