Hari
pertama masuk SD tahun 1994, Saya diantar oleh Bapak ke Sekolah, bukan
cuma diantar tapi Bapak juga terpaksa ikut masuk ke ruang kelas karena
saya menangis jika ditinggalkan sendirian. Cukup menakutkan bagi seorang
anak seperti saya berbaur dengan anak-anak Pribumi Papua yang jumlahnya
jauh lebih besar dibanding anak-anak pendatang. Bapak
terpaksa terlambat masuk kerja seminggu untuk menemani hari-hari
pertamaku masuk sekolah.
Hari
ini, 18 tahun setelah itu. Situasi yang sama kembali terjadi. Tidak ada
Bapak yang menemani bukan menjadi masalah karena saya pun semakin hari
semakin mirip bapak-bapak. Jauh dari tanah Papua, Kota Tamiyang Layang,
Kabupaten Barito Timur di belantara Kalimantan, hari pertama masuk
kerja. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya akan bekerja di hutan,
lebih-lebih lagi bekerja di bidang pertambangan. Tau apa saya tentang
tambang? bukannya tambang itu sejenis tali? Apakah batu tawas juga
ditambang? dan banyak lagi pertanyaan tentang tambang.
Terbayang pengorbanan selama ini untuk memahami, memperdalam ilmu dan menghapal segala tetek bengek manajemen lebih dari 6 tahun sambil bercita-cita menjadi Manager.
Lalu setelah kuliah yang memeras segala keringat dan cairan dari dalam
tubuh, yang kudapat adalah pekerjaan menggali tanah, mengambil batubara, dan menjualnya.
Beruntung, perusahaan tambang ini adalah yang terbesar di Kabupaten
Barito Timur. Dari hasil pengenalan awal tentang perusahaan, diketahui
bahwa ada sekitar 2.500 karyawan, ratusan Dump Truck, ratusan
alat berat, puluhan kapal pengangkut batubara dan puluhan ribu hektar
lahan yang tersebar di Bartim & Barsel yang telah dan sementara
dibebaskan untuk digali. Perusahaan ini juga sedang bertransformasi untuk
beradaptasi dengan manejemen modern.
Bartim
atau Barito Timur adalah salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah yang
beribukota di Tamiyang Layang. Walaupun merupakan Ibukota, Tamiyang
Layang lebih mirip sebuah kecamatan di Sulawesi Selatan. Hanya ada satu
Bank, satu lampu merah, satu SPBU, dan satu Kantor Polisi. Mengingat 80%
penduduk beragama kristen, masjid pun bisa dihitung jari. Seperti dulu
di Papua, Islam di sini menjadi golongan Minoritas. Syukurlah, walau
tidak terlalu jauh dari Sampit, daerah yang terkenal dengan konflik
antar agamanya, Tamiyang Layang cukup kondusif dan toleran walaupun
masih agak menakutkan mengingat Kota ini lebih pantas disebut hutan, saking sepi dan gelapnya.
Target
yang ditetapkan di hari pertama ini adalah mengetahui segala seluk
beluk Pertambangan, Prosedur perijinan dan Tahapan pembebasan lahan. Bos
memberikan waktu 3 bulan sebelum dipanggil kembali ke Jakarta untuk
mempresentasikan kemajuan pengetahuan saya terhadap pekerjaan ini. Untuk
itu, saya harus siap ke hutan mengikuti proses pengeboran, ke
kantor-kantor pemerintah untuk mengurus perijinan, dan mengikuti segala
arahan dari supervisor yang ditugaskan membimbing saya dengan ikhlas dan bertanggung jawab.
Tamiyang Layang, 02 Juli 2012.
0 comments:
Posting Komentar