Berkaca dengan
cermin cekung akan membuat bayangan anda menjadi maya, tegak, diperbesar. Cermin inilah,
yang walaupun sangat sulit, tapi akan lebih mudah mengakui ketimbang
membantahnya, seringkali digunakan oleh orang Bugis. Dengan berkaca pada cermin
cekung, bayangan dirinya akan menjadi tidak nyata dan mengalami pembesaran. Oleh
karena itulah, maaf, orang Bugis cenderung suka pamer kekayaan, jabatan, gelar
kebangsawanan maupun akademik dan lain sebagainya. Ini sepertinya melenceng
dari kaidah-kaidah ideal orang Bugis pada masa lalu yang tercatat dalam lontara’.
Makkadai To Maccae ri luwu’, “Aruwai sabbinna lempu’e, Napariwawoi riwawoe,
napariyawai riyawae, napariataui atauwe, naparilalengngi rilalengge, napariabeoi abeoe, naparisaliwenggi
risaliwengnge, naparimunriwi rimunrie, naparioloi riolo” (dari lontara’ haji
andi ninong). Ada delapan ciri-ciri kejujuran, di ataskan yang di atas, di
bawahkan yang di bawah, di kanankan yang di kanan, di kirikan yang di kiri, di
dalamkan yang di dalam, di luarkan yang di luar, di belakangkan yang di
belakang dan di depankan yang di depan. Intinya adalah tempatkan sesuatu pada
tempatnya. Namun kenyataan yang ada saat ini sangat jauh dari nilai ideal orang
Bugis itu.
Lihatlah
ketidaksenangan seorang bangsawan Bugis ketika anda memanggilnya tidak disertai
dengan gelar bangsawan yang tepat, Puang,
Bau’ atau Datu misalnya walaupun tidak menjadi masalah karena pada umumnya
orang Bugis sangat paham dengan penghormatan ini, selain juga para bangsawan
sendiri sudah mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan itu seiring dengan
modernisasi masyarakat. Tapi lihat pula contoh lainnya dimana orang-orang
berlomba naik haji demi apresiasi lingkungan, bukan karena iman sebab setelah
haji pun banyak sekali diantara mereka yang bermasalah dengan moral.
Perhatikan pesta
perkawinan orang-orang Bugis, sebagian
besar sumber daya yang dimiliki keluarga akan dicurahkan untuk membiayai
perkawinan. Menarik jika kita menyaksikan pengumuman jumlah doi balanca yang jumlahnya bisa mencapai
ratusan juta rupiah, dibacakan dengan pengeras suara didepan ratusan tamu
undangan dalam suatu tahapan prosesi pernikahan yang disebut mappenre’ doi balance. Ironis sebab
sering terjadi, doi menre’ yang
diumumkan sebesar seratus juta rupiah, tetapi beredar kabar bahwa sebenarnya
yang disepakati pada saat pelamaran hanya lima puluh juta. Untuk apa semua itu
selain mendambakan pujian dari masyarakat.
Para tamu
undangan juga tak mau kalah, kalung emas sebesar rantai sepeda tampak indah
berkilau menghiasi leher sampai belahan dada. Belahan dada? Iya, sedikit
belahan dada akan terlihat karena baju kebaya bugisnya sengaja didesain
demikian, padahal ada cipo’cipo dikepalanya,
menandakan gelarnya sudah Hajja. Bahkan, ada juga tali kutang dari emas.
Di beberapa kampong,
akan mudah kita jumpai antenna parabola, hampir semua rumah memiliki antenna parabola
padahal beberapa rumah diantaranya belum memiliki sarana mandi, cuci &
kakus yang layak. Apa boleh buat, tetangga punya parabola, kita juga harus
punya jika ingin memiliki kebanggaan bermasyarakat.
Di beberapa ruang
tamu rumah-rumah orang Bugis, akan dipajang sebuah lemari kayu dengan pintu
kaca agar orang-orang bisa melihat ke dalamnya, diletakkanlah piring-piring dan
gelas-gelas baru, serta perabot-perabot rumah tangga baru yang seharusnya
diletakkan di dapur. Rumah-rumah pun mengalami ketidakpantasan, ruang tamu
biasanya sangat bagus dan mewah, sementara ruang lainnya penuh penderitaan.
Berat memang
untuk mengakuinya, tapi lebih berat lagi membantahnya. Dalam kehidupan
sehari-hari, inilah yang dikenal sebagai, Pojiale.
Namun tak perlu terlalu khawatir, pengakuan diri memang merupakan kebutuhan
manusia walaupun dalam konteks orang Bugis, self
esteem terlihat seperti terlalu dipaksakan. Mungkin lebih bijak jika kita bercermin
pada cermin yang datar-datar saja dan Kembali menengok nasehat orang tua kita
orang Bugis, “potudanngi tudammu, puonroi
onrommu”, duduki kedudukanmu, tempati tempatmu.
0 comments:
Posting Komentar