"Keadilan sosial... bagi... seluruh... rakyat Indonesia", walaupun terbata-bata, Dia, di umurnya yang belum wajib paham pancasila sudah tuntas menghapal lima dasar negara, berdiri agak kaku dan canggung di depan Ibu dan aku. Dia Adikku, berdiri tersenyum dengan bangga setelah tuntas seluruh kalimat Pancasila dihapalnya. Adikku merasa dengan hapal pancasila, negara ini akan bangga padanya. Dari nafasnya yang menderu dan detak jantungnya yang menggebu, Dia seperti sudah tak sabar ingin melakukan sesuatu untuk negaranya. Baginya menghapal Pancasila merupakan langkah awal untuk selanjutnya Ia akan berbakti pada Ibu pertiwi.
Menghapal Pancasila cukup membanggakan bagi anak seusianya, mengingat di Provinsi ini ada Wakil Bupati yang tak hapal Pancasila.
Ketika anak-anak lain seusianya lewat dengan seragam putih merah lengkap, Adikku tetap bangga berdiri di depan Ibu dan aku walaupun bajunya kaos kebesaran, kusam, dan kotor. Semangat nasionalisme dan cinta tanah air terlanjur memenuhi dadanya, hingga Adikku menerka bahwa Dia lah yang dapat menyelesaikan masalah negara yang bertumpuk. Ibu tertawa sementara aku prihatin melihat Adikku, anak kecil di hadapan kami itu memang lucu, merasa mampu memperbaiki negara dengan tangannya yang mungil. caranya bernafas membuat Ibu tertawa sementara semangatnya membuatku prihatin. Takut kalau negara ini kembali mengecewakan orang-orang pinggiran, seperti kami, khususnya Adikku.
Cukup melihat Adikku, saatnya kembali bekerja, dengan menyandarkan sebuah harian pagi di dada agar headlinenya terlihat jelas, Ibu berjalan di sela mobil-mobil sambil menawarkan koran, "Fajar Pak!, Tribun, Upeks... Berita Kota...", tak henti mulut Ibu menyebut satu per satu nama surat kabar lokal. Apa yang dilakukan Ibu juga ku kerjakan, bedanya mulutku terus menerus mengucap nama surat kabar nasional, "Kompas Bu', Tempo...", ucapku sambil mengintip ke kaca riben mobil, di dalamnya mereka membaca koran dari laptop, itu adalah versi digital surat kabar yang dijual ibu. Saingan makin banyak. Lampu merah berubah hijau, saatnya menepi ke median jalan yang rindang menanti lampu merah berikutnya. Di sana Adikku masih tersenyum sendiri.
Lampu merah datang bersamaan dengan sekelompok mahasiswa, membawa bendera merah putih dan poster presiden serta wakilnya, berkumpul di tengah perempatan. Entah dari mana asalnya tiba-tiba saja sudah ada ban bekas yang terbakar, kobaran api mengobarkan semangat mereka meneriakkan orasi dan menyampaikan aspirasi lewat pengeras suara berkualitas buruk. Entah karena pengeras suaranya yang buruk atau karena semangat yang berlebihan, Aspirasi yang diteriakkan tak terdengar di telinga kami di pinggiran perempatan. Jalanan macet, Aspirasi melayang bersama angin, tak masuk ke telinga siapapun.
Lampu merah datang lagi, saatnya menghabiskan koran-koran kami. Koran belum habis, lampu hijau datang bersama sekelompok Polisi yang langsung ke tengah perempatan. Rupanya Polisi muncul untuk menghalagi Mahasiswa yang akan membakar poster presiden. Dorong-mendorong tak terhindarkan, batu dan bambu mulai melayang. Jika sudah begini, Kampus akan mengatakan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam kekacauan ini sebagai oknum mahasiswa, dan Markas Kepolisian akan menyatakan bahwa polisi yang terlibat adalah oknum polisi. oknum adalah sebutan untuk orang yang paling sial, yang dikambing hitamkan sebagai penyebab segala masalah.
"Awas Fajar, nanti kena batu...!!", teriak Ibu memanggil Adikku yang terlalu dekat dengan kekacauan. Fajar tidak berbalik lalu berlari, Ia mundur perlahan... menyaksikan Mahasiswa saling bantai dengan Polisi. Mimik kebanggaan di wajah Adikku hilang diganti dengan kekecewaan. Adikku bukan takut pada batu, sesuatu yang keras sudah lunak untuk kami yang hidup susah, seperti malam ini, kami harus mengencangkan ikat pinggang karena koran tak semuanya laku terjual. Adikku kecewa, semangatnya runtuh... Mereka bertikai dan merusak Indonesia di depan Adikku yang baru saja menaruh harapan dan cinta pada Negaranya.
Untuk mengetahui perasaan pendemo, jadilah demonstran. Untuk mengetahui perasaan polisi, jadilah polisi. Tapi untuk mengetahui perasaan orang kecil yang mendambakan kedamaian dan yang menaruh harapan besar dan mencintai Indonesia, Jadilah Adikku...
Makin parah kekacauan ketika dua buah mobil dinas yang lewat di rusak Mahasiswa. Ibu berlari meraih Fajar yang kecewa, menggendongnya dengan tangan kanan karena aku memegang tangan kirinya. Koran sisa jualan tak dihiraukan lagi, Kami pulang melewati sela kemacetan. Makin jauh dari perempatan, suasana mulai aman, Ibu menurunkan Fajar. Aku melihat Adikku masih terisak, sambil berjalan harapannya sirna. Adikku mungkin salah karena berharap terlalu tinggi akan kedamaian Indonesia. Aku menggenggam tangan Adikku, agar di kemudian hari dia tak takut bermimpi lagi, Orang seperti kami ini akan mati tanpa mimpi-mimpi, seperti kata Arai sang pemimpi. Walaupun negara ini tak mengijinkan, Bermimpilah setinggi langit sebab walaupun jatuh, kita masih teduduk di antara bintang-bintang.
**********
Di jalanan, semua susah, Supir pete-pete cemas kurang setoran, penumpang gelisah kepanasan. Demonstrasi anarkis seperti ini memanaskan semuanya, hingga sedikit senggolan saja antar kedua tukang becak itu membuat keduanya nyaris berkelahi, beruntung tukang becak ketiga segera muncul menengahi perselisihan itu dengan kalimat yang menggelitik, "Jangan meko berkelahi, kaya' tongko saja Mahasiswa!"... (oknum).
Cukup melihat Adikku, saatnya kembali bekerja, dengan menyandarkan sebuah harian pagi di dada agar headlinenya terlihat jelas, Ibu berjalan di sela mobil-mobil sambil menawarkan koran, "Fajar Pak!, Tribun, Upeks... Berita Kota...", tak henti mulut Ibu menyebut satu per satu nama surat kabar lokal. Apa yang dilakukan Ibu juga ku kerjakan, bedanya mulutku terus menerus mengucap nama surat kabar nasional, "Kompas Bu', Tempo...", ucapku sambil mengintip ke kaca riben mobil, di dalamnya mereka membaca koran dari laptop, itu adalah versi digital surat kabar yang dijual ibu. Saingan makin banyak. Lampu merah berubah hijau, saatnya menepi ke median jalan yang rindang menanti lampu merah berikutnya. Di sana Adikku masih tersenyum sendiri.
Lampu merah datang bersamaan dengan sekelompok mahasiswa, membawa bendera merah putih dan poster presiden serta wakilnya, berkumpul di tengah perempatan. Entah dari mana asalnya tiba-tiba saja sudah ada ban bekas yang terbakar, kobaran api mengobarkan semangat mereka meneriakkan orasi dan menyampaikan aspirasi lewat pengeras suara berkualitas buruk. Entah karena pengeras suaranya yang buruk atau karena semangat yang berlebihan, Aspirasi yang diteriakkan tak terdengar di telinga kami di pinggiran perempatan. Jalanan macet, Aspirasi melayang bersama angin, tak masuk ke telinga siapapun.
Lampu merah datang lagi, saatnya menghabiskan koran-koran kami. Koran belum habis, lampu hijau datang bersama sekelompok Polisi yang langsung ke tengah perempatan. Rupanya Polisi muncul untuk menghalagi Mahasiswa yang akan membakar poster presiden. Dorong-mendorong tak terhindarkan, batu dan bambu mulai melayang. Jika sudah begini, Kampus akan mengatakan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam kekacauan ini sebagai oknum mahasiswa, dan Markas Kepolisian akan menyatakan bahwa polisi yang terlibat adalah oknum polisi. oknum adalah sebutan untuk orang yang paling sial, yang dikambing hitamkan sebagai penyebab segala masalah.
"Awas Fajar, nanti kena batu...!!", teriak Ibu memanggil Adikku yang terlalu dekat dengan kekacauan. Fajar tidak berbalik lalu berlari, Ia mundur perlahan... menyaksikan Mahasiswa saling bantai dengan Polisi. Mimik kebanggaan di wajah Adikku hilang diganti dengan kekecewaan. Adikku bukan takut pada batu, sesuatu yang keras sudah lunak untuk kami yang hidup susah, seperti malam ini, kami harus mengencangkan ikat pinggang karena koran tak semuanya laku terjual. Adikku kecewa, semangatnya runtuh... Mereka bertikai dan merusak Indonesia di depan Adikku yang baru saja menaruh harapan dan cinta pada Negaranya.
Untuk mengetahui perasaan pendemo, jadilah demonstran. Untuk mengetahui perasaan polisi, jadilah polisi. Tapi untuk mengetahui perasaan orang kecil yang mendambakan kedamaian dan yang menaruh harapan besar dan mencintai Indonesia, Jadilah Adikku...
Makin parah kekacauan ketika dua buah mobil dinas yang lewat di rusak Mahasiswa. Ibu berlari meraih Fajar yang kecewa, menggendongnya dengan tangan kanan karena aku memegang tangan kirinya. Koran sisa jualan tak dihiraukan lagi, Kami pulang melewati sela kemacetan. Makin jauh dari perempatan, suasana mulai aman, Ibu menurunkan Fajar. Aku melihat Adikku masih terisak, sambil berjalan harapannya sirna. Adikku mungkin salah karena berharap terlalu tinggi akan kedamaian Indonesia. Aku menggenggam tangan Adikku, agar di kemudian hari dia tak takut bermimpi lagi, Orang seperti kami ini akan mati tanpa mimpi-mimpi, seperti kata Arai sang pemimpi. Walaupun negara ini tak mengijinkan, Bermimpilah setinggi langit sebab walaupun jatuh, kita masih teduduk di antara bintang-bintang.
**********
Di jalanan, semua susah, Supir pete-pete cemas kurang setoran, penumpang gelisah kepanasan. Demonstrasi anarkis seperti ini memanaskan semuanya, hingga sedikit senggolan saja antar kedua tukang becak itu membuat keduanya nyaris berkelahi, beruntung tukang becak ketiga segera muncul menengahi perselisihan itu dengan kalimat yang menggelitik, "Jangan meko berkelahi, kaya' tongko saja Mahasiswa!"... (oknum).
1 comments:
good..goooddd
Posting Komentar