Kami sudah lelah, kini bersandar di batang pohon waru, daunnya yang lebat menghindarkan sinar matahari dari kami yang hampir putus asa. Dengan air mata yang terus mengalir, aku hanya bisa mengenang hari itu …
***
Dengan pakaian lengkap daengku berpamitan, tatapan matanya dalam dan penuh kasih sayang. Mencium keningku lalu menatap lagi mataku, kali ini dengan sedikit senyum di bibirnya, aku memandang bibirnya yang bergerak lambat demi menjelaskan padaku cara mengatasi jika rindu datang menyerang, “Narekko maruddaniki’, cengaki’ ri ketengnge Andi’, to siduppa mata”, kata daengku sambil menunduk agar bisa kuletakkan songkok Bone di kepalanya, songkok yang dipakai sejak tahun 1683 oleh pasukan Bone untuk membedakan mereka dalam perang melawan Tator. Kali ini untuk membedakan daengku dengan pasukan Belanda, kupasang songkok di kepalanya dengan menyebut nama Allah.