“Choice is a magic word“,
begitu menyadari bahwa kita punya pilihan, seketika kita akan berubah
dari objek menjadi subjek. Alih-alih mengatakan ‘saya harus pergi’,
cobalah mengatakan ‘saya mau pergi’, kita akan berubah dari kondisi tak
berdaya (powerless) menjadi berdaya (powerfull).
“Makhluk apa itu?” cecar “ayam”.
Ayam lainnya menjawab, “O, itu burung paling perkasa. Namanya burung elang. Selain jago terbang, ia juga suka menunggu kita lengah agar bisa memangsa kita.”
“Kita juga punya sayap, kenapa tidak terbang saja?” sergah “ayam” itu.
“Kamu ada-ada saja,” jawab ayam yang lain, “kita ini hanya seekor ayam, tidak mungkin bisa terbang seperti itu.”
Karena penasaran, “ayam” itu keluar dari persembunyiannya. Ia abaikan peringatan saudara-saudaranya. Akibatnya, ia mati diterkam burung elang. Akhir kisah, “ayam” itu benar-benar mati sebagai ayam yang tak punya Pilihan.
Banyak manusia menjalani hidupnya dalam
ketidaksadaran seperti robot-robot yang dikendalikan oleh orang lain.
Seperti pernah dituturkan Anthony de Mello… “seorang petani menemukan
telur burung elang di ladangnya. Karena rasa kasih yang dimilikinya,
petani membawa telur itu pulang ke rumahnya, lalu meletakkan telur elang
itu diantara tumpukan telur ayam yang sedang dierami oleh induknya.
Tak lama berselang, telur itu menetas
bersama telur-telur ayam lainnya. Sejak itu, elang kecil hidup tumbuh
dan hidup laksana ayam, berjalan meniru induknya, mematuk-matuk makanan
seperti saudaranya—anak-anak ayam—dan berperilaku sama seperti ayam-ayam
yang lainnya. Hanya saja, ia terlihat lebih elegan dari ayam lainnya.
Ia terus bertumbuh hingga usianya mulai tua. “Ayam” itu tak pernah
mencoba terbang apalagi meliuk di udara, ia hanya bisa berjalan seperti
yang dipelajarinya sejak kecil. Meskipun ia tak bisa bertelur layaknya
ayam betina atau birahi seperti ayam jantan. Hingga suatu ketika, “ayam”
yang mulai tua itu bermain di ladang bersama ayam-ayam lainnya. Ketika
melongok ke udara, ia melihat seekor burung melayang-layang dengan gagah
mengintai mangsa. Ayam-ayam lain mengajak “ayam” itu segera mencari
tempat yang aman untuk berlindung.
“Kenapa kita harus lari bersembunyi?” tanya “ayam”.
“Kalau tidak, kita akan dimangsa burung perkasa itu,” jawab ayam lainnya.“Makhluk apa itu?” cecar “ayam”.
Ayam lainnya menjawab, “O, itu burung paling perkasa. Namanya burung elang. Selain jago terbang, ia juga suka menunggu kita lengah agar bisa memangsa kita.”
“Kita juga punya sayap, kenapa tidak terbang saja?” sergah “ayam” itu.
“Kamu ada-ada saja,” jawab ayam yang lain, “kita ini hanya seekor ayam, tidak mungkin bisa terbang seperti itu.”
Karena penasaran, “ayam” itu keluar dari persembunyiannya. Ia abaikan peringatan saudara-saudaranya. Akibatnya, ia mati diterkam burung elang. Akhir kisah, “ayam” itu benar-benar mati sebagai ayam yang tak punya Pilihan.
Apakah kita senantiasa memiliki pilihan dalam situasi apapun?
Kita memang tak dapat memilih ingin
dilahirkan oleh siapa, di mana, dan dibesarkan dengan cara apa. Tapi
kita dapat memilih mau jadi apa di masa depan. Kalau kita dilahirkan
sebagai pria atau wanita, itu namanya takdir. Tapi kita punya pilihan
untuk menerima kenyataan tersebut dan menjadikannya apa saja sesuai
kehendak kita. Kita tak dapat memilih takdir, tapi kita dapat memilih
nasib kita.
Kita tak dapat mengontrol krisis ekonomi
tapi kita dapat memilih gaya hidup yang sesuai dengan keadaan ekonomi.
Kita memang tak bisa menjamin keamanan di malam hari, tapi kita bisa
memilih untuk tidak terlalu sering keluar malam. Wanita tidak dapat
menolak upaya Pemerkosaan, tapi sebelumnya bisa memilih pakaian apa yang
akan dikenakan.
Pilihan memang membuka kesempatan bagi
manusia untuk menjadi yang terbaik, tetapi waspadalah dalam memilih,
karena kesempatan untuk menjadi yang terburuk juga terbuka sama
lebarnya.