Taro-taroi alemu siri’, Narekko de’ siri’mu, inrekko.
Lengkapilah dirimu dengan harga diri, jika tak ada harga dirimu, pinjamlah!
Nasehat berbahasa bugis ini sepertinya harus dicamkan baik-baik oleh para remaja Indonesia. Data
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2010
menunjukkan, 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pra
nikah. Di beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pra nikah juga
dilakukan sebagian remaja. Misalnya saja di Surabaya tercatat 54 persen,
di Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan, rata-rata setengah dari
jumlah remaja remaja terjerumus kedalam masalah ini. Bayangkan
berapa jumlah anak-anak Indonesia yang kehilangan harga diri, jumlah
remaja (15-19 tahun) di Indonesia mencapai 43 juta jiwa, tinggal
dikalikan saja dengan persentasenya.
Kenyataan miris ini
harus segera diatasi, mengingat pada tahun 2006 BKKBN pernah merilis
hasil survei di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta,
Bandung, Surabaya, dan Makassar, masih berkisar 45 persen remaja yang
mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah. Percepatan peningkatan
jumlah seks bebas di kalangan remaja yang mencapai 5 persen dalam lima
tahun ini harus segera dihentikan jika kita tidak ingin mencapai angka
100 persen beberapa tahun yang akan datang.
Ada beberapa faktor
yang mendorong para remaja ini melakukan seks di luar nikah, diantaranya
pengaruh pergaulan bebas, faktor lingkungan dan keluarga yang mendukung
prilaku tersebut, serta pengaruh perkembangan teknologi media massa,
untuk diketahui, ada sekitar 4.000.000 situs porno yang bisa diakses
dengan mudah di Indonesia. Kemajuan teknologi pula yang belakangan
menyediakan tontonan pornografi gratis di ponsel-ponsel remaja kita,
celakanya, tontonan itu ikut dipraktekkan dan akhirnya memunculkan
kasus-kasus video porno anak sekolah, ada yang bersetting lokasi di
dalam kelas, di taman sekolah, di kamar kos, hingga di balik sekat-sekat
bilik warnet.
Hasil penelitian Synovate Research lebih rinci lagi, 44%
responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16
sampai 18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah
mereka dapat antara usia 13 sampai 15 tahun. Selain itu, rumah menjadi
tempat paling favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya,
mereka memilih hubungan seks di kos (26%) dan hotel (26%). Uniknya, para
responden ini sadar bahwa seharusnya mereka menunda hubungan seks
sampai menikah (68%) dan mengerti bahwa hubungan seks pra nikah itu
tidak sesuai dengan nilai dan agama mereka (80%). Namun ironis karena
ketika mereka ditanya tentang bagaimana perasaan mereka setelah
kehilangan keperawanan atau keperjakaannya, hanya 47 persen yang mengaku
takut hamil, berdosa atau ketahuan orang tua, ini pertanda bahwa moral,
akhlak dan akidah sebagian remaja sudah merosot ke titik nadir.
Yang perlu kita lakukan?
Masalah
ini wajib diberi perhatian, jangan sampai dibiarkan terus-menerus
mengikuti perkembangan zaman dengan alasan globalisasi, kita adalah
Indonesia, sebuah bangsa dengan kultur yang beradab, sebuah negara yang
dilandasi nilai-nilai kesusilaan dan keberagaaman, jangan sampai Tuhan
menurunkan murkanya pada kita.
Peran
orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya sejak
dini samgat penting. Laki-laki sejak lahir sudah dilengkapi dengan ‘penis’, sama halnya perempuan dan ‘vagina’.
Yang perlu dilakukan para orang tua cukup sederhana, siapkan jawaban
pada anak-anak kita sedini mungkin jika suatu saat mereka bertanya
mengapa penisnya berdiri ketika melihat keindahan perempuan, atau
mengapa ada getaran-getaran nafsu yang mereka rasakan ketika melihat
lawan jenisnya. Orang tua harus terbuka, agar anak-anak tak bertanya
lebih-lebih mencoba sembarangan.
Tak
perlu ke Yunani jika ingin beretika, Tak perlu belajar jauh-jauh
tentang pemecahan masalah ini, kita hanya harus kembali ke nilai-nilai
yang dikandung budaya kita, anak-anak dan remaja sebaiknya kembali
diakrabkan dengan budaya bugis, yakni ‘siri’ (harga diri)’,
suatu keadaan dimana harga diri dan martabat dijunjung tinggi, baik diri
sendiri maupun keluarga. Ceritakan pada mereka kisah tentang
la’Pabbelle’ putra Arung Matoa Wajo X La
Pakoko Topabbele’ yang memperkosa wanita di kampung Totinco kemudian
dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya sendiri agar mereka paham akan
pentingnya harga diri. Dengan siri’
anak-anak kita akan tahu bahwa seseorang yang tidak mempunyai malu atau
harga diri bagaikan seonggok bangkai yang berjalan, seperti kata pepatah
bugis, ‘’siri’e mi to riaseng tau”, hanya karena harga dirilah, kita dinamakan manusia.